Arsip Blog

Rabu, 25 Mei 2016

PERKEMBANGAN HAM DARI MASA KE MASA, SESUAI DENGAN FAKTOR FAKTORNYA

No.
Periode
Akuntabilitas
Rotasi kekuasaan
Pola rekruitmen politik
Pemilihan umum
Pemenuhan hak hak dasar warga negara.
1
Periode 1945-1949
Muhammad Yamin dgn beraninya memasukkan asas peri kerakyatan dalam usulan dasar negara indonesia merdeka dan Ir. Soekarno dan penuh keyakinan memasukkan asas mufakat/ demokrasi tentang dasar negara indonesia yg diberi nama Pancasila.
Presiden yg secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi seorang diktator, dibatasi kekuasaanya ketika KNIP dibentuk untuk menggantikan parlemen.
Pemberian hak hak poltik secara menyeluruh. Sehingga, semua warga negara yg sudah dewasa memiliki hak poltik yg sama.
Belum  dapat dilaksakan sekalipun itu menjadi agenda poltik utama.
HAM belum terlaksana dengan baik.
2
Periode 1949-1959
Pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena berfungsinya parlemen dan media massa sebagai alat kontrol sosial.
Kepartaian memperoleh peluang yg besar untuk berkembang secara maksimal.
Lembaga perwakilan rakyat/ parlemen memainkan peranan yg sangat tinggi dalam proses politik yg sedang berjalan. Perwujudan kekuasaan ini diperlihatkan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yg mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya sekalipun pemerintahannya baru berjalan beberapa bulan.
Hanya sekali dilaksanakan pada thn 1995, tetapi pemilu tsb benar benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi.
Masyarakat dapat merasakan bahwa hak hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga negara dapat memnfaatkannya dengan maksimal.
3
Periode 1959-1965
Kehadiran partai partai politik bukan untuk mempersiapkan diri dalam rangka mengisi jabatan politik di pemerintah karena pemilu tidak pernah dijalankan.
Sentralisasi kekuasaan yg semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Daerah daerah memiliki otonomi yg terbatas.
Terbentuknya DPR-GR, peranan legislatif dalam sistem politik nasional menjadi sedemikian lemah. Karena, DPR-GR tidak lebih hanya merupakan instrumen politik lembaga kepresidenan. Proses rekruitmen politik ini pun ditentukan oleh presiden.
Pemilu tidak pernah dijalankan. kehadiran partai
Hak dasar manusia menjadi sangat lemah.presiden dengan mudah menyingkirkan lawan lawan politiknya yg tidak sesuai dengan kebijaksanaannya.
4
Periode 1965-1998
Jenderal Soeharto dipilih menjadi presiden RI dan mengubah era yg dikenal sebagai orde baru dan konsep demokrasi Pancasila.
Rotasi kekuasaan eksekutif hampir tidak pernah terjadi. Kecuali pada jajaran yg lebih rendah. Contohnya : gubernur, bupati/ walikota, camat dan kepala desa.
Rekruitmen politik bersifat tertutup.
Pemilu telah dilangsungkan 7 kali dan frekuensi yg teratur setiap 5 thn sekali. Tetapi jauh dari semangat demokrasi.
Kebebasan berpendapat menjadi hal yg langka dan mewah. Pemerintah melalui kepanjangan tangannya memberikan ruang yg terbatas kepada masyarkat untuk berbendapat.
5
Periode 1998-sekarang
Dalam masa pemerintah presiden Habibie muncul beberapa indikator pelaksaan demokrasi indonesia. Yaitu diberikan ruang kebebasan pers sebagai ruang publik dan diberlakukan sistem multipartai dalam pemilu.
Dilaksanakan dari mulai pemerintah pusat sampai pada tingkat desa.
Pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan dilakukan secara terbuka dimanapun setiap warga negara tg mampu memenuhi syarat dapat menduduki jabatan tanpa diskriminasi.
Pemilu dilaksanakan jauh lenih demokratis dari yg sebelumnya. Sistem pemilu terus berkembang memberikan jalan bagi rakyat untuk menggunakan hak politiknya dalam pemilu
Hak dasar rakyat bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat,kebebasan pers dan sebagainya.

Selasa, 24 Mei 2016

biografi Chairil Anwar

      BIOGRAFI CHAIRIL ANWAR


Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.[1] Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya.[2] Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.

Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah.[3] Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.[4]

Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya.[5] Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.[6] Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Penyair

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun.[6] Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian.[6] Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.[6][7] Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir tahun 1948.
Makam Chairil di TPU Karet Bivak

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949; penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.[8] Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyarah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".[3]

Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949,[4] sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi.[5] Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Karya tulis yang diterbitkan
Sampul Buku "Deru Campur Debu"

    Deru Campur Debu (1949)
    Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
    Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
    "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
    Derai-derai Cemara (1998)
    Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
    Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Terjemahan ke bahasa asing

Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:

    "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960)
    "Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
    Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
    "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
    The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
    The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
    Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
    The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Karya-karya tentang Chairil Anwar
Patung dada Chairil Anwar di Jakarta.

    Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
    Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
    Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
    S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
    Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
    Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
    H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
    Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
    Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
    Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
    Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
    Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)